Dari Jogokariyan, kami bercita
membawakan cahaya untuk gelap semesta dengan da’wah dengan 3 pilar utama: Al
Quran, Masjid, dan Sirah Nabawiyah.
Al Quran
Di tahun 1980-an, HM Jazir ASP,
ayahanda dari Shofwan Al Banna, yang mewakafkan diri menyelusur pelosok negeri
telah menemukan fakta:
rendahnya ketahanan ‘aqidah ummat bukan semata faktor ekonomi, melainkan ‘rasa
memiliki terhadap agama’.
Mereka ringan berpindah agama, sebab
selama ini meski ber-KTP Islam, tapi tak ada rasa handarbeni terhadap agamanya. Di mana ‘rasa
memiliki agama’ ini terasas muncul? Observasi HM Jazir ASP menunjukkan: dalam
kemampuan melafalkan Kitab Suci, Al Quran.
Di zaman itu, pembelajaran
melafalkan Al Quran masih rumit, dengan metode Turutan, Baghdadiyah, dan
lain-lain yang disertai pengejaan. HM Jazir ASP lalu menginisiasi satu cara
pembelajaran melafalkan Al Quran yang didasarkan pada 1 tujuan asas: CEPAT
BISA.
Metode baru yang berasas ‘langsung baca
tanpa dieja’ dan ‘cara belajar santri aktif’ itu diujicobakan di PAJ (Pengajian
Anak Jogokariyan).
Suatu hari, KH As’ad Humam RA dari
Kota Gede berkunjung dan melihat cara HM Jazir ASP mengajar Al Quran dengan
metodenya itu. Beliau pun menunjukkan ketertarikannya dengan metode
pembelajaran itu dan berkeinginan mengembangkannya.
Mereka berdua pun akhirnya duduk
bersama, menyempurnakan metode dan menyusun buku ajar Al Quran yang lalu
dinamai: IQRO’.
Bermula dari Pengajian Anak
Jogokariyan, IQRO’ -Cara Cepat Belajar Membaca Al Quran- telah lahirkan 160
Ribu TPA di seluruh Indonesia. Generasi seusia kita berhutang pada IQRO’ yang
walau tak lepas dari kekurangan telah merevolusi pembelajaran baca Al Quran.
Kini, IQRO’ yang di awal
kehadirannya disambut tak ramah, dengan kegigihan HM Jazir ASP berkeliling
negeri, diterima luas. IQRO’ telah menjadi sistem ajar Al Quran resmi Malaysia,
Brunei, dan Singapura. Kini bahkan dirintis di UEA, Qatar, dan Oman.
Tak lupa tujuan awal IQRO’:
membangun ketahanan ‘Aqidah dengan menguatkan rasa memiliki agama melalui
kemampuan baca Quran.
Tahun demi tahun, metode IQRO’ terus
dikembangkan, diperbaiki, dan disempurnakan; pelatihannya menjangkau aneka
pelosok.
Masjid
Maka sejak pertengahan 1990-an, HM
Jazir ASP mulai menggarap pilar da’wah kedua, Masjid. Dan beliau memulainya
dari Masjid Jogokariyan.
Datanya: negeri kita memiliki lebih
dari 1 Juta Masjid; besar dan kecil. Berapa yang jadi BEBAN dibanding yang
MEMBERDAYAKAN? Ratusan ribu Masjid membebani jamaah untuk listrik, air, dan
kebersihan padahal pemanfaatannya hanya shalat dan tak pernah penuh.Aset Masjid
berupa jutaan meter persegi tanah dan bangunan dinilai dari aspek apapun;
Spiritual, Sosial, dan Ekonomi sangat tak produktif.
Padahal, soal Masjid adalah ideologi
sekaligus substansi Peradaban Islam. Lawannya: ideologi dan substansi
Peradaban Pasar. Sebaik-baik tempat di muka bumi dan yang paling dicinta Allah
adalah Masjid. Seburuk-buruknya ialah Pasar. Tapi ada rumusnya: “Jika Pasar
mengalahkan Masjid, maka Masjid MATI. Jika Masjid mengalahkan Pasar, maka Pasar
HIDUP,” kata Abu Bakar Ash Shiddiq.
Istilah Masjid dan Pasar sejatinya
tak cuma mewakili tempat; namun juga nilai Peradaban, contohnya: Ekonomi Pasar
vs Ekonomi Masjid.
Tapi baiklah, tidak kita panjangkan
bahasan itu; kita masuk pada langkah strategis dan praktis yang ditempuh HM
Jazir ASP di Jogokariyan.
Secara sederhana, -apa yang di
kemudian hari disebut Manajemen Masjid- ada di 3 langkah: Pemetaan, Pelayanan,
dan Pemberdayaan.
Pemetaan artinya; setiap Masjid harus memiliki peta
dakwah yang jelas, wilayah kerja yang nyata, dan jama’ah yang terdata.
Pendataan yang dilakukan Masjid terhadap jama’ah mencakup potensi dan
kebutuhan, peluang dan tantangan, kekuatan dan kelemahan.
HM Jazir ASP di Jogokariyan
menginisiasi Sensus Masjid: pendataan tahunan yang hasilnya menjadi Data
Base dan Peta Dakwah
komprehensif.
Data Base dan Peta Dakwah Jogokariyan tak cuma mencakup
nama KK dan warga, pendapatan, pendidikan, dan lainnya, melainkan sampai pada siapa
saja yang shalat dan yang belum, yang berjama’ah di Masjid dan yang tidak, yang
sudah berqurban dan berzakat di Baitul Maal Masjid Jogokariyan, yang aktif
mengikuti kegiatan Masjid atau belum, yang berkemampuan di bidang apa dan
bekerja di mana, dan seterusnya. Detail sekali.
Dari data base Masjid Jogokariyan
kita misalnya bisa tahu; dari 1030 KK (4000-an penduduk), yang belum shalat
tahun 2010 ada 17 orang. Lalu bandingkan dengan data th 2000, warga Jogokariyan
yang belum shalat ada 127 orang. Dari sini, perkembangan da’wah 10 tahun
terlihat.
Peta Dakwah Jogokariyan
memperlihatkan gambar kampung yang rumah-rumahnya berwarna-warni: hijau, hijau
muda, kuning, dan seterusnya hingga merah. Di tiap rumah ada juga atribut
ikonik: Ka’bah (sudah berhaji), Unta (sudah berqurban), Koin (sudah berzakat),
Peci, dan lain-lain. Konfigurasi rumah sekampung itu dipakai untuk mengarahkan
para Da’i yang cari rumah. Saya misalnya ditempatkan di Barat Daya Jogokariyan.
Data potensi Jama’ah dimanfaatkan
sebaik-baiknya; segala kebutuhan Masjid Jogokariyan yang bisa disediakan
jama’ah diorder dari mereka. Masjid Jogokariyan juga berkomitmen tidak membuat
Unit Usaha agar tak menyakiti jama’ah yang memiliki bisnis serupa. Ini harus
dijaga.
Misalnya; tiap pekan Masjid
Jogokariyan terima ratusan tamu. Konsumsi untuk mereka diorderkan secara
bergiliran pada jama’ah yang punya rumah makan.
Data jama’ah digunakan untuk Gerakan
Shubuh Berjama’ah. Pada 2004 dibuat Undangan Cetak layaknya pernikahan untuk
itu; by name. UNDANGAN: “Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Saudara …. dalam acara
Shalat Shubuh Berjama’ah, besok pukul 04.15 WIB di Masjid Jogokariyan..”
Undangan itu dilengkapi
hadits-hadits keutamaan Shalat Shubuh. Hasilnya? Silakan mampir Jogokariyan
merasakan Shubuh sepertiga Jumatan.
Sistem keuangan Masjid Jogokariyan
juga berbeda dari yang lain. Jika ada Masjid mengumumkan dengan bangga bahwa
saldo infaknya jutaan, maka Masjid Jogokariyan selalu berupaya keras agar di
tiap pengumuman, saldo infak harus sama dengan NOL! Infak itu ditunggu
pahalanya untuk jadi ’amal shalih; bukan untuk disimpan di rekening Bank.
Pengumuman infak jutaan akan sangat
menyakitkan jika tetangga Masjid ada yang tak bisa ke Rumah Sakit sebab tak
punya biaya, atau tak bisa sekolah. Masjid yang menyakiti jama’ah ialah tragedi
da’wah.
Dengan pengumuman saldo infak sama
dengan NOL; jama’ah lebih semangat mengamanahkan hartanya. Kalau saldo jutaan,
ya maaf.
Masjid Jogokariyan pada 2005 juga
menginisiasi Gerakan Jama’ah Mandiri. Jumlah biaya setahun dihitung, dibagi 52;
ketemu biaya pekanan. Dibagi lagi dengan kapasitas Masjid; ketemu biaya
per-tempat shalat. Lalu disosialisasikan. Jama’ah diberitahu bahwa jika dalam
sepekan mereka berinfak segitu, maka dia Jama’ah Mandiri. Jika lebih, maka dia
Jama’ah Pensubsidi. Jika kurang maka dia Jama’ah Disubsidi. Sosialisasi ditutup
kalimat: “Doakan kami tetap mampu melayani ibadah Anda sebaik-baiknya.”
Gerakan Jama’ah Mandiri sukses
menaikkan infak pekanan Masjid Jogokariyan hingga 400%; ternyata orang malu
jika ‘ibadah saja disubsidi.
Demikianlah jika peta, data, dan
pertanggungjawaban keuangannya transparan (Infak Rp. 1000 pun kita tahu ke mana
alirannya), tanpa dimintapun Jama’ah akan berpartisipasi. Tiap kali renovasi,
Masjid Jogokariyan berupaya tak membebani jama’ah dengan proposal..
Takmir hanya pasang spanduk, “Mohon
Maaf Ibadah Anda Terganggu, Masjid Jogokariyan sedang Kami Renovasi.” No
rekening tertera di bawah.
Satu kisah lagi untuk menunjukkan
pentingnya data dan dokumentasi. Masjid Jogokariyan punya foto pembangunannya
di tahun 1967. Gambarnya: seorang bapak sepuh berpeci hitam, berbaju batik, dan
bersarung sedang mengawasi para tukang mengaduk semen untuk Masjid Jogokariyan.
Di tahun 2002/2003 Masjid
Jogokariyan direnovasi besar-besaran; foto itu dibawa kepada putra si kakek
dalam gambar, seorang Juragan Kayu. Dikatakan padanya, “Ini gambar Ayahanda
Bapak ketika membangun Masjid Jogokariyan, kini Masjid sudah tak mampu lagi
menampung jama’ah kami bermaksud merenovasi Masjid; jika berkenan untuk
melanjutkan ‘amal jariyah beliau, kami tunggu partisipasinya di Jogokariyan”
Alhamdulillah, foto tahun 1967 itu
membuat yang bersangkutan menyumbang Rp.1 Milyar dan mau jadi Ketua Tim
Pembangunan Masjid Jogokariyan, sampai sekarang….
Artikel ini disusun ulang
redaksi Fimadani dari kultwitt Ustadz Salim A. Fillah tentang Masjid
#Jogokariyan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar